Kita seharusnya dengan penuh kesungguhan mulai menggunakan kembali emas
dan perak sebagai mata uang, bukan dollar, rupiah, dan sebagainya. Di
Amerika Serikat saja, sejumlah warganegaranya telah lama aktif
mengkampanyekan kembali penggunaan emas dan perak sebagai mata uang
sejati (Liberty Dollar). Pelan tapi pasti, dunia akan kembali
mempergunakan mata uang sejati ini. Mudah-mudahan kita tidak terlambat.
Saya
jarang membaca koran atau majalah. Paling-paling hanya headlinenya
saja. Dan beberapa minggu lalu muncul hal baru yang menjadi headline
berjudul Visi 2030. Intinya ialah pendapatan perkapita, GDP Indonesia
akan mencapai $18.000 (delapan belas ribu US dollar) per tahun dan
Indonesia menjadi ekonomi dunia ke 5. Kemudian heboh antara SBY dan Amin
Rais dalam kasus dana sumbangan pemilihan presiden. Hal ini membuat
saya tergelitik untuk menulis opini ini, sekalian untuk menyambut ulang
tahun lahirnya Pancasila, yang dengungnya sudah pudar. Saya juga ingin
mengungkapkan kejahatan-legal yang berkaitan dengan kemakmuran dan tidak
pernah diungkapkan di media massa.
Dalam masalah kemakmuran GDP
$18.000 per kapita, saya skeptis. Sebabnya ialah sepanjang hidup saya,
dengan pergantian tiga (3) jaman, yaitu jaman Orde Lama Sukarno, Orde
Baru Pembangunan Lepas Landas Suharto, dan jaman Reformasi Otonomi
Daerah, kemakmuran tidak beranjak kemana-mana, bahkan turun. Saya juga
skeptis terhadap adanya perbaikan karena pergantian kabinet yang baru
saja terjadi. Hal ini karena data ekonomi mengatakan demikian dan itu
akan kita lihat dalam seri tulisan ini.
Mengenai Visi 2030 butir
pertama, bahwa GDP $18.000 per kapita mungkin bisa tercapai. Tetapi GDP
$18.000 per kapita tidak identik dengan kemakmuran. Artinya, tingkat
hidup dan tingkat kemakmuran bangsa Indonesia tidak akan beranjak
kemana-mana dengan kenaikan dari $1.490 GDP per kapita saat ini ke
$18.000 di tahun 2030. Sedang untuk butir kedua - ekonomi nomer 5 dunia,
saya tidak yakin bisa tercapai.
Saya akan jelaskan berdasarkan
sejarah dan akal sehat, kenapa saya skeptis. Saya hidup di tiga (3)
jaman yaitu Jaman Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) dan Jaman
Reformasi. Jadi saya betul-betul mengenal ketiga jaman itu. Jaman
sebelumnya juga akan disinggung yaitu Jaman Normal (itu istilah nenek
kakek kita). Tetapi dasarnya hanya cerita para orang-orang tua saja dan
untuk hal ini pembaca boleh dipercaya atau tidak.
Sebelum
melanjutkan kepada inti cerita, ada baiknya pembaca dikenalkan dengan
jenis-jenis mata uang rupiah yang pernah beredar di republik ini dan
kurs antar mata uang ini:
1. Rupiah ORI (Oeang Repoeblik Indonesia - Rp ORI)
2. Rupiah setelah Gunting Sjafruddin - GS, (Rp 5 GS = Rp 10 ORI)
3. Rupiah Orde Lama (Rp 1 Orla = Rp 10 GS)
4. Rupiah Orde Baru (Rp 1 Orba = Rp 1000 Orla)
Untuk
mata uang jaman Belanda untuk mudahnya disebut rupiah kolonial, gulden.
Kurs uang jaman Normal (jaman Penjajahan) tidak sederhana karena ada
selingan jaman Jepang yang pendek dan kemudian ada NICA (pemerintahan
Belanda pendudukan). Tetapi hal itu tidak perlu dirisaukan karena ada
tolok ukur tandingan akan kita gunakan sebagai ukuran kemakmuran, yaitu
uang sejati, yang disebut emas.
Saya katakan uang sejati karena,
jika Anda beragama seperti Islam atau Kristen, maka hanya emas dan
perak saja yang disebut dalam kitab suci kedua agama tersebut. Quran
hanya menyebut Dinar (uang emas) di surat Kahfi dan Dirham (perak) di
surat Yusuf. Dan fulus tidak akan pernah dijumpai di Quran. Demikian di
Perjanjian Lama, akan Anda jumpai banyak cerita emas dan perak sebagai
uang.
[ Bag 1 ] [ Bag 2 ] [ Bag 3 ] [ Bag 5 ]