Pada Debat Capres 3, Jokowi enggan mengambil sikap
terhadap konflik Laut China Selatan. Jokowi juga dinilai gagal
menjelaskan konsep Tol Laut dan Pertahanan Maritim yang diusungnya.
Pertanyaannya, Jokowi memang enggan sikapi Laut China Selatan dan gagal
paparkan Tol Laut -Pertahanan Maritim, atau karena ada yang ditutupi?
Saya kira tak banyak yang memahami konsep Tol
Laut Jokowi, karena memang dari segi penamaan tidak tepat sekaligus
tidak dipaparkan jelas. Kebanyakan tentu mengira, Tol Laut adalah
membangun jalan tol di atas Laut. Padahal Tol Laut yang dimaksud Jokowi
adalah peningkatan jalur dan armada angkut kargo laut antar pelabuhan,
bukan jalan tol di atas laut.
Lantas kenapa Jokowi menamainya Tol Laut?
Sekedar terdengar unik meski tidak bermakna sama dengan pemahaman umum
mengenai tol, ataukah untuk menyembunyikan sesuatu yang lebih besar?
Mari kita telaah.
Pada intinya, konsep Tol Laut Jokowi adalah
penambahan jalur dan armada angkut kargo laut antar pelabuhan. Tujuan
yang dijelaskan Jokowi, Tol Laut untuk meningkatkan lalu lintas manusia
dan perdagangan antar pelabuhan dan antar pulau. Ketimbang seketika
memuji konsep tersebut, saya cenderung melihat bagaimana konsep Tol Laut
Jokowi akan diimplementasikan.
Mudah, faktor paling penting dalam
mengimplementasikan konsep Tol Laut Jokowi adalah pengadaan Kapal Kargo
Laut secara massif. Pertanyaannya, darimana pengadaan kapal-kapal kargo
laut untuk realisasi konsep Tol Laut Jokowi?
Pemerintah memiliki PT PAL, BUMN yang berfungsi
memproduksi kapal laut. Kemampuan produksi kapal laut PT PAL saat ini,
tidak memungkinkan untuk melakukan produksi massal secara tiba-tiba
untuk kebutuhan Tol Laut Jokowi. Tentu PT PAL perlu pembangunan pabrik
skala besar untuk memenuhi kebutuhan Tol Laut Jokowi. Pembangunan pabrik
skala besar umumnya membutuhkan waktu 3 – 5 tahun. Kelihatannya,
penambahan pabrik kapal PT PAL bukan menjadi solusi utama Jokowi
menerapkan Tol Laut. Solusi paling mudah tentunya mengadakan kerjasama
strategis dengan negara yang memiliki kemampuan memproduksi kapal laut
secara massif. Pertanyaannya kemudian, negara manakah yang berpeluang
melakukan kerjasama itu?
Di kawasan Asia, China adalah negara yang
tengah investasi raksasa di industri perkapalan dengan fokus pada kapal
angkut kargo laut. Jepang juga memiliki industri perkapalan yang
memadai, meski kemampuan produksinya di bawah China. Inggris juga
tercatat sebagai negara yang memiliki industri perkapalan yang besar.
Namun tentunya, China adalah negara yang paling
mungkin melakukan kerjasama dengan Jokowi untuk implementasi Tol Laut.
Selain mampu produksi massal, kapal China juga jauh lebih murah. Harga
jual China dengan Jepang berselisih cukup jauh untuk penjualan ke
Indonesia, mengingat faktor ongkos angkut.
Saya kira, pengimplementasian Tol Laut Jokowi
akan lebih strategis apabila bekerja sama dengan China sebagai pemasok
kapal. Apalagi, Jokowi telah menunjukkan beberapa indikasi lain terkait
kerjasama strategis dengan China.
Ketika menjabat Gubernur DKI, Jokowi melakukan
pembelian Busway dari China secara massal. Untuk menggenjot percepatan
program transportasi di DKI, Jokowi memilih China sebagai pemasok
Busway.
Penting untuk dipahami, pembelian puluhan
Busway dari China bukanlah sekedar transaksi biasa seperti seseorang
membeli Hape China. Transaksi pembelian puluhan Busway oleh Pemda DKI
bisa digolongkan sebagai transaksi G2G (Government to Government).
Apabila transaksi pembelian Busway dengan China berlanjut, tentunya akan
ada pembicaraan strategis antar 2 negara. Apalagi, kalau Jokowi menjadi
presiden, boleh jadi akan menggalakkan program Busway di setiap Ibukota
Provinsi. Itu artinya, di bawah Jokowi, Indonesia berpotensi mengadakan
kerjasama yang lebih luas dengan China.
Bermula dari Busway China untuk DKI yang
berpotensi berlanjut ke seluruh Ibukota Provinsi, boleh jadi pasokan
kapal laut untuk Tol Laut Jokowi juga akan dari China. Saya kira,
mengadakan 2 transaksi raksasa bernilai puluhan triliun ini saja sudah
cukup untuk terbentuknya kerjasama strategis Indonesia – China.
Pertanyaan lanjutannya adalah, maukah China
memasok sejumlah kebutuhan Busway dan kapal laut untuk Tol Laut Jokowi?
Apa saja potensi persyaratan dari China terhadap Jokowi dan Indonesia
untuk pasokan Busway dan kapal laut untuk Tol Laut?
Seperti saya katakan tadi, dalam transaksi
skala besar seperti Busway dan kapal laut Jokowi, kita harus melihat
dalam kacamata G2G. Dalam kacamata G2G, kita tidak bisa melihat
sesederhana : Saya mau beli hape hari ini, langsung eksekusi. Dalam
kacamata G2G, ada transaksi yang melibatkan produksi massal bernilai
raksasa. Dalam kacamata G2G, tidak sesederhana : Saya mau beli ribuan
Busway dan ribuan kapal laut dari China, maka langsung tersedia. Dalam
kacamata G2G, China akan mengatakan : Apa yang saya dapat dari Indonesia
jika saya menyediakan semua yang kamu butuhkan itu?
Saya kira, buat orang-orang yang memahami kacamata transaksi G2G akan mengerti apa yang saya katakan di atas.
Maka pertanyaannya kemudian adalah apa yang dibutuhkan China dari Indonesia saat ini?
Untuk lebih memahami konteks global, lihat tulisan saya berikut ini :
- Pemerintahan Minyak 2014 - 2019, Siapa Pantas Memimpin? bit.ly/1l22OIB
- Siapa Pantas Pimpin Indonesia Di Perang Dunia V? bit.ly/T4O6oU
- Ternyata, Jokowi Pilih Poros China - Rusia, Ketimbang AS bit.ly/1jlid2q
Lihat peta ini untuk mempermudah pembacaan Geopolitik Internasional saat ini :
Seperti saya paparkan pada tulisan-tulisan di atas,
bahwa China saat ini sedang membutuhkan aliansi di kawasan Laut China
Selatan. Kondisi politik global tengah memanas. Poros Yahudi (AS –
Eropa) berpotensi pecah perang dengan Poros Asia Utara (China – Rusia)
di 5 titik :
- Teluk Persia (Perang Teluk IV) : Israel, NATO, Turki versus Iran, China, Rusia.
- Laut Kuning : Korea Selatan, Jepang, AS versus Korea Utara, China, Rusia.
- Laut Andaman : Australia, PBB, Myanmar, India, Vietnam versus Thailand, Kamboja, Laos, China.
- Laut China Selatan : Australia, Filipina, AS, Vietnam, Malaysia versus China.
- Laut Hitam : Turki, NATO, PBB versus Ukraina, Rusia, Belarusia.
Pada 4 titik (Teluk Persia, Laut Kuning, Laut
Andaman, Laut Hitam), Poros Asia Utara (China – Rusia) telah memperoleh
aliansi. Satu-satunya titik perang dimana Poros Asia Utara (China –
Rusia) belum mendapat aliansi strategis adalah Laut China Selatan.
Perlu dicatat bahwa Laut China Selatan adalah
pintu masuk menyerang Hong Kong, salah satu basis ekonomi terkuat China
saat ini. Filipina yang menjadi pangkalan militer AS mudah menyerang
Hong Kong.
Secara historis, politik, ekonomi, sosial dan
budaya, China sulit membentuk aliansi strategis dengan Malaysia dan
Filipina. Potensi aliansi strategis China hanya bisa dibangun dengan
Taiwan dan China telah tawarkan Taiwan kembali jadi provinsi China.
Taiwan belum memberi keputusan soal tawaran kembali jadi provinsi China.
AS pun mengetahui Taiwan sedang dilobi China
dan membalas dengan lobi kredit pasokan senjata AS ke Taiwan senilai US$
51 miliar. Tanpa menggandeng Taiwan, Malaysia dan Filipina, maka China
tak punya pertahanan di kawasan Laut China Selatan. Seharusnya, Vietnam
bisa menjadi aliansi China mengingat adanya kesamaan historis soal
penganut Komunisme. Sayangnya, Vietnam keburu dilobi AS.
Vietnam telah mengadakan kerjasama pembersihan
senjata-senjata bekas perang Vietnam antara AS – Vietnam. Kerjasama AS –
Vietnam ini berarti perbaikan hubungan pertahanan, tentunya untuk
mencegah Vietnam jadi aliansi China.
Melihat AS bergerak cepat menggandeng Vietnam,
Taiwan, Malaysia dan Filipina, lalu China hanya punya 1 solusi :
Sibukkan Asia Tenggara.
China mengklaim seluruh perairan Laut China
Selatan sebagai wilayahnya. Klaim China atas seluruh Laut China Selatan
memicu konflik antara China, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Taiwan.
Konflik Laut China Selatan kian memanas dan berpotensi pecah perang.
Pecah perang Laut China Selatan akan sangat menguntungkan China yang tak
punya pertahanan di Laut China Selatan. Perang Laut China Selatan akan
menyibukkan negara-negara Laut China Selatan sehingga sulit jadi pintu
masuk AS menyerang Hong Kong melalui Filipina.
Adanya konflik Laut China Selatan yang dipicu
klaim China membuat AS bergerak melobi Vietnam, Malaysia dan Filipina.
Vietnam telah mengadakan kerjasama pertahanan dengan AS. Malaysia dan
Filipina dilobi keras oleh AS agar tidak terpicu melakukan perang Laut
China Selatan.
Jadi, China menghendaki Perang Laut China
Selatan agar tidak bisa jadi pintu masuk AS menyerang Hong Kong,
sementara AS mengingkan perdamaian.
Pertanyaannya, dimanakah posisi Indonesia dalam konflik Laut China Selatan?
Agak janggal memang, China tidak mengklaim Blok
Natuna milik Indonesia yang berada di Laut China Selatan. Apakah karena
China benar telah mengadakan kerjasama strategis dengan Jokowi sehingga
tidak klaim Natuna? Ataukah China menunggu hasil Pilpres 2014 untuk
melihat arah Indonesia, baru kemudian tentukan akan klaim Natuna atau
tidak?
Jika benar China telah mengadakan kerjasama
strategis dengan Jokowi, tentu saja China tidak perlu menambah musuh
baru dengan klaim Natuna.
Posisi Indonesia secara Geopolitik sangat
penting jika pecah Perang Laut China Selatan. Dengan China tidak klaim
Natuna, maka Indonesia kemungkinan besar tidak ikut perang Laut China
Selatan. Namun perang antara China, Vietnam, Malaysia dan Filipina, bisa
saja masuk perairan Indonesia. Ketika aktivitas perang Laut China
Selatan memasuki perairan Indonesia itulah Indonesia bisa membantu
China.
Bagaimana cara Indonesia membantu China?
Pada acara Debat Capres, kita jelas melihat 4 kunci penting Jokowi yang menandakan sikap dan arah Jokowi terhadap China.
Pertama, Jokowi tidak atau
enggan menjawab soal konflik Laut China Selatan. Melihat kepentingan
China di Laut China Selatan adalah memecahkan perang, sikap Jokowi ini
menunjukkan ia pro China. Padahal, Jokowi sebagai penganut politik Luar
Negeri Bebas Aktif seharusnya mendorong Indonesia aktif menjaga Asia
Tenggara dari potensi perang. Sikap Jokowi yang tidak ambil pusing soal
Laut China Selatan menunjukkan Jokowi sejalan dengan China yang ingin
memecahkan perang Laut China Selatan.
Kedua, Jokowi mengkritik keras
Tank Leopard yang dibeli dari Jerman. Dalam kacamata membaca statement
politik, tentu saja kritikan Jokowi mengindikasikan adanya penggantian
pemasok senjata perang. Apakah Jokowi nanti akan mengganti pemasok
persenjataan Indonesia ke China dan Rusia (Poros Asia Utara)?
Ketiga, solusi Jokowi atas
kritik terhadap Tank Leopard adalah membentuk pertahanan Maritim. Kritik
Jokowi terhadap Tank Leopard yang dikatakan merusak jalan disolusikan
dengan fokus pertahanan Maritim. Sudahkah Indonesia memiliki kapal-kapal
perang yang mampu menjaga perairan Maritim Indonesia? Jawabannya belum.
Sejak jaman Hindia Belanda, Indonesia telah beralih dari negara Maritim
menjadi negara agraris, serupa dengan Belanda yang juga negara agraris.
Konsep pertahanan Maritim Jokowi berarti akan ada pembelian kapal
perang besar-besaran. Di kawasan Asia, produsen kapal perang terkuat
adalah Rusia. Rusia sedang membentuk poros dengan China (Poros Asia
Utara) yang punya kepentingan besar menjaga Laut China Selatan. Dari
sini kita bisa melihat adanya potensi bahwa Pertahanan Maritim Jokowi
akan dipasok oleh Rusia. Dengan pasokan kapal-kapal perang dari Rusia,
tentu saja Indonesia bisa dijadikan benteng China – Rusia di Laut China
Selatan.
Keempat, program Tol Laut
Jokowi yang pada intinya adalah pengadaan kapal angkut kargo laut
besar-besaran. Seperti telah saya paparkan di atas, Tol Laut Jokowi
berpotensi direalisasikan secara cepat dengan pembelian massal kapal
angkut kargo laut dari China. Sebagaimana Busway yang dibeli dari China,
ada potensi Jokowi juga akan membeli kapal-kapal kargo laut dari China.
Poros Asia Utara (China – Rusia) tak punya
pertahanan di Laut China Selatan adalah fakta. Konflik Laut China
Selatan yang dipicu klaim China terhadap seluruh perairan Laut China
Selatan juga fakta. Bahwa China – Rusia sangat membutuhkan Indonesia
sebagai satu-satunya aliansi di Laut China Selatan tak dapat dipungkiri.
Apakah Jokowi melihat peluang itu dan berencana
mengubah poros Indonesia ke Poros Asia Utara (China – Rusia)? Ataukah
Poros Asia Utara (China – Rusia) yang ambil andil besar dalam
program-program Jokowi (Tol Laut dan Pertahanan Maritim)?
Berikut 5 fakta yang mengindikasikan Jokowi akan membawa Indonesia pada Poros Asia Utara (China – Rusia) :
- Faktanya, Tol Laut Jokowi hanya bisa diimplementasikan secara cepat jika ada pasokan kapal-kapal kargo laut secara massal dari China.
- Faktanya, pertahanan Maritim Jokowi hanya bisa diimplementasikan secara cepat jika ada pasokan kapal-kapal perang dari Rusia.
- Faktanya, Jokowi tak ambil sikap soal Laut China Selatan yang sama saja menyetujui rencana China memecah perang Laut China Selatan.
- Faktanya, kritik Jokowi atas Tank Leopard dari Jerman, mengindikasikan penggantian pemasok senjata perang darat.
- Faktanya, Jokowi telah membeli puluhan Busway untuk DKI yang berpeluang dilanjutkan untuk program Busway di seluruh ibukota Provinsi.
Dari 5 fakta di atas, kita bisa melihat adanya
kecenderungan Jokowi akan membawa Indonesia pada kepentingan Poros Asia
Utara (China – Rusia). Jokowi berpotensi menjadikan Indonesia sebagai
Benteng Pertahanan Selatan yang tidak dimiliki Poros Asia Utara (China –
Rusia).
Dan jangan lupa, ada 28 kontrak blok Migas yang habis pada 2015 – 2021 yang menjadi tanggung jawab pemerintahan 2014 – 2019 :
2015
- Pertamina – Costa di Blok Gabang
2017
- Total EP – Inpex di Blok Mahakam
- Pertamina di Blok Offshore North West Java (ONWJ)
- Inpex di Blok Attaka
- Medco di Blok Lematang
2018
- Pertamina – Petrochina di Blok Tuban
- Pertamina – Talisman di Blok Ogan Komering
- ExxonMobil di Blok North Sumatera Offshore (NSO) B
- ExxonMobil di Blok NSO Extension
- CNOOC di Blok Sumatera Tenggara
- Total EP di Blok Tengah
- VICO di Blok Sanga-Sanga
- Chevron di Blok Pasir Barat (West Pasir) dan Attaka
2019
- Kalrez Petroleum di Blok Bula
- Citic di Blok Seram Non Bula
- Pertamina – Golden Spike di Blok Pendopo dan Raja
- Pertamina – Hess di Blok Jambi Merang
2020
- Conoco Phillips di Blok South Jambi B
- Kondur Petroleum di Blok Malacca Strait
- Lapindo di Blok Brantas
- Pertamina – Petrochina di Blok Salawati
- Petrochina di Blok Kepala Burung Blok A
- Energy Equity di Blok Sengkang
- Chevron di Blok Makassar Strait Offshore A
2021
- CPI di Blok Rokan
- Kalila di Blok Bentu Segat
- Petronas di Blok Muriah
- Petroselat di Blok Selat Panjang
Lihat gambar pemetaan kepentingan negara-negara asing pada Blok Migas di Indonesia (Mei 2012).
Terlihat jelas, bahwa AS merupakan pihak yang
paling berkepentingan dalam industri migas Indonesia. Dari Barat ada AS,
Inggris, Italia, Perancis, Norwegia, Australia. Dari Asia ada Malaysia,
China, Jepang. Sementara China, yaitu CNOOC dan Petrochina belum
memegang banyak pada blok-blok migas di Indonesia.
Apabila Jokowi akan membawa Indonesia menjadi
Benteng Selatan Poros Asia Utara (China – Rusia), tentu juga berkaitan
dengan penguasaan Blok Migas. China dan Rusia tentu mengetahui kalau ada
28 kontrak blok migas yang habis pada pemerintahan 2014 – 2019. Wajar
jika China dan Rusia akan meminta bagian besar pada 28 blok migas yang
akan habis kontrak antara 2015 – 2021.
Pertanyaannya kemudian, haruskah Indonesia
menjadi Benteng Selatan Poros Asia Utara (China – Rusia)? Haruskah
Indonesia menjadikan dirinya sebagai Benteng Pertahanan Selatan Poros
China – Rusia? Haruskah Indonesia, atas dasar menjadi Benteng Pertahanan
Selatan Poros China – Rusia itu, kita serahkan 28 Blok Migas itu kepada
China dan Rusia?
Apakah Indonesia tidak bisa menjadi bagian dari Poros Otonom seperti dahulu Sukarno mendirikan Poros Asia – Afrika?
Sumber : Klik Disini
The Article News Is The Truth