Presiden Baru dan Utang LN ataukah Perbudakan Baru

Tanggal 22 Juli lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan pemenang dalam ajang Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 2014. Pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla, yang meraih 70.997.85 suara (53,15 persen), ditetapkan sebagai pemenang.


Sehari sebelumnya, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu mengeluarkan pengumuman penting: hingga Juni 2014, utang pemerintah Indonesia sudah menembus angka Rp 2.507,52 triliun. Angka yang fantastis!
Juga, beberapa hari sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga melansir total utang luar negeri Indonesia. Hingga Mei 2014, total utang luar negeri Indonesia sudah menembus USD 283,7 miliar atau setara Rp 3.321 triliun. Utang itu mencakup utang pemerintah dan swasta.

Rezim SBY punya kontribusi besar dalam penumpukan utang ini. Pada tahun 2004, sebelum SBY berkuasa, jumlah utang kita tercatat Rp 1,299 triliun. Namun, dalam dua periode kekuasaannya, rezim SBY telah menambahinya dua kali lipat. Dan inilah salah satu prestasi SBY: mewariskan utang yang terus menumpuk!

Nah, beberapa bulan kedepan kita akan punya pemerintahan baru. Kemungkinan besar, kalau keputusan KPU di atas tidak teranulir oleh proses hukum di MK saat ini, pemerintahan baru itu akan dinahkodai oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Saya kira, salah satu tantangan besar bagi pemerintahan baru ini adalah soal utang luar negeri.

Masalahnya, Jokowi-JK kurang banyak mengelaborasi soal utang luar negeri ini dalam kampanyenya. Dalam bundel visi-misi yang diserahkan ke KPU, pasangan Jokowi-JK hanya menyinggung soal pengurangan utang negara secara bertahap sehingga rasio utang terhadap PDB mengecil. Namun, di sisi lain, pasangan ini tetap membuka peluang utang baru untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang produktif. Di sini kita tidak melihat ketegasan pasangan Jokowi-JK dalam mengakhiri ketergantungan terhadap utang luar negeri.

Saya kira, pemerintahan baru kedepan tidak bisa menyepelekan persoalan utang ini. Pertama, situasi utang luar negeri Indonesia sudah dalam tanda “lampung kuning”. Seiring dengan penumpukan utang itu, rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap jumlah penerimaan ekspor atau sering disebut debt to service ratio (DSR) Indonesia juga meningkat. Sekarang angka DSR kita sudah nyaris menembus 50 persen. Artinya, hampir separuh dari penghasilan negara dari penerimaan ekspor hanya dipakai untuk membayar utang. Selain itu, hal itu juga menggerus cadangan devisa, mendepresiasi atau melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dollar, dan lain sebagainya.

Kedua, tumpukan utang yang terlalu tinggi itu juga sudah sangat membebani APBN. Setiap tahunnya APBN kita terkuras untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan bunganya. Untuk APBN tahun 2014, porsi pembayaran cicilan utang dan bunganya mencapai Rp 368,981 triliun. Angka ini naik dibanding APBN tahun 2012 yang tercatat Rp 299,708 triliun.

Prioritas untuk membayar utang membuat kemampuan APBN kita untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan sosial menjadi cekak. Sepanjang tahun 2005-2001, porsi pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Di sisi lain, pada periode yang sama, alokasi untuk fungsi sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan kelautan hanya Rp 66,8 triliun (Ahmad Erani Yustika, 2012).

Ketiga, utang luar negeri sangat terkait dengan praktik-praktik penjajahan baru alias neokolonialisme. Penulis Amerika, Ambrose Bierce, pernah bilang: “utang merupakan pengganti yang cerdik dari rantai dan cambuk si Mandor.”
Susan George, penulis buku A Fate Worse Than Debt, menjelaskan betapa utang menjadi instrumen dari negeri-negeri kreditur (negeri-negeri kolonisator) untuk memaksa negara-negara penerima pinjaman (negara bekas jajahan) membuka akses terhadap bahan baku dan tenaga kerja murah.

Dalam konteks ini, IMF dan Bank Dunia punya andil besar sebagai perpanjangan tangan proses kolonialisasi tersebut. Biasanya, negeri-negeri yang mau menerima pinjaman dikenai syarat atau ketentuan oleh IMF dan Bank Dunia, yakni kebijakan penyesuaian struktural (Structural Adjusment Programs/SAP).

Melalui kebijakan SAP ini, IMF dan Bank Dunia memaksa negeri-negeri penerima pinjaman merombak struktur ekonomi makronya agar mengembangkan ekonomi berorientasi ekspor, meminimalkan peran negara dalam lapangan ekonomi, memangkas subsidi dan belanja sosial, menghapuskan segala bentuk rintangan bagi perdagangan bebas, melakukan privatisasi terhadap perusahaan negara/publik, menerapkan pasar tenaga kerja yang fleksibel/lentur, dan lain sebagainya. Semua kebijakan itu, katanya, untuk memastikan negara-negara penerima pinjaman bisa membayar kembali pinjamannya.

Pada kenyataannya, semua kebijakan itu berdampak buruk pada negara penerima pinjaman. Sebagai misal, kebijakan ekonomi beroentasi ekspor justru menempatkan negara penerima pinjaman untuk menjadi pengekspor bahan baku/mentah. Biasanya dengan harga yang sangat murah. Alhasil, ketika harga komoditas di pasar internasional, negeri-negeri ini mengalami defisit perdagangan dan terpaksa meminta pinjaman baru.

Menurut Eric Toussaint, Presiden Komisi Penghapusan Utang Negara Dunia Ketiga (CADTM), ekspor bahan baku ini tidak lebih dari penjarahan kekayaan alam. Menurut Toussaint, dalam dua dekade terakhir, telah terjadi transfer kekayaan berkali-kali lipat dari pinggiran (dunia ketiga) ke pusat (negeri-negeri imperialis). Di satu sisi, negeri-negeri imperialis bisa mengakses bahan baku dengan murah, sementara di sisi lain, negara-negara miskin mengalami kelangkaan sumber daya dan kerusakan ekologis.

Pada level politik, kebijakan penyesuaian struktural ini menekuk kedaulatan negara-negara penerima pinjaman. Banyak kebijakan ekonomi dan politik negeri penerima pinjaman didiktekan dari luar, terutama oleh IMF dan Bank Dunia. Ironisnya, sebagian besar kebijakan itu justru merugikan kepentingan nasional negeri bersangkutan.

Indonesia sendiri sudah menjadi korban kebijakan SAP ini sejak era Soeharto hingga sekarang. Kebijakan SAP inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah “neoliberalisme”. Kebijakan neoliberal ini menghancurkan ekonomi nasional kita: modal asing menguasai sebagian besar sumber daya dan aset nasional kita; akibat penguasaan pasar domestik kita, sektor pertanian dan industri nasional kita hancur; privatisasi BUMN menyebabkan sebagian besar perusahaan negara yang dibangun dengan uang rakyat diobral murah kepada pemodal asing; privatisasi layanan publik menyebabkan rakyat kesulitan mengakses kebutuhan dasarnya; pemangkasan subsidi dan belanja sosial menelantarkan rakyat berpendapat menengah dan kecil; dan pasar tenaga kerja yang fleksibel telah memperburuk kondisi kerja melalui penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Jadi, terang bagi saya, komitmen pemerintahan baru terhadap ekonomi berdikari akan menjadi absurd jika mereka tidak punya keberanian politik untuk mengakhiri ketergantungan terhadap utang luar negeri dan menghentikan semua kesepakatan dengan IMF dan Bank Dunia.

Audit Utang

Saya kira, salah satu tugas dari pemerintahan kedepan adalah menyelesaikan persoalan utang luar negeri ini. Apalagi, seperti kita ketahui, banyak diantara utang-utang tersebut yang masuk dalam kategori utang najis (oudius debt)dan utang tidak sah (illegitimate debt).

Utang najis mengacu pada konsep Alexander Sack pada tahun 1927. Suatu utang dianggap utang najis apabila: 1) pembuat/penerima pinjaman adalah rezim despotik/otoriter yang mengggunakan utang itu untuk konsolidasi kekuasaanya; 2) pinjaman yang diberikan berlawanan dengan kepentingan rakyat atau tidak bermanfaat bagi rakyat; 3) si pemberi pinjaman mengetahui kondisi di atas tetapi mengabaikannya.

Sementara illegitimate debtmengacu pada utang yang sah dan tidak sah. 

Biasanya, untuk menentukan utang sah atau tidak sah, dilakukan proses “audit utang”. Utang dikatakan tidak sah, misalnya, karena utang tersebut menyebabkan korupsi; utang tersebut tidak menguntungkan rakyat–malahan merugikan rakyat (pinjaman untuk pembelian senjata atau proyek-proyek raksasa yang disertai penggusuran); proyek yang dikucuri utang tidak berjalan sebagaimana mestinya; pinjutang itu dipakai untuk spekulasi di pasar keuangan; dan atau, pinjaman tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan.

Saya kira, pemerintah kedepan sangat berpeluang untuk melakukan audit utang. Pertama, sejarah utang Indonesia tidak terpisah dari kolonialisme. Melalui persetujuan KMB, kolonialis Belanda mewariskan utang sebesar 4 miliar USD kepada rakyat Indonesia. Kedua, utang-utang warisan rezim Orde Baru. Menurut pengakuan Bank Dunia, sekitar 30% utang di masa Orde Baru masuk ke kantong pribadi Soeharto. Ketiga, utang-utang yang dipaksakan oleh rezim neoliberal pasca reformasi. Sebagian besar utang itu tidak melalui konsultasi dengan rakyat dan tidak memberi manfaat bagi rakyat.

Stratetegi audit utang ini pernah ditempuh oleh pemerintah Ekuador di bawah pemerintahan Rafael Correa. Enam bulan setelah berkuasa, Rafael Correa membentuk Komisi Audit Utang (Comisión para la Auditoria Integral del Crédito Público – CAIC). Komisi itulah yang menguji semua kontrak utang dan bagaimana utang tersebut dimanfaatkan. Hasilnnya, Komisi itu menemukan fakta bahwa 70% utang Ekuador adalah utang tidak sah. Karenanya, pemerintahan Correa punya legitimasi untuk membatalkan pembayaran 70% utangnya.

Nah, kalau tidak ada aral melintang, Presiden dan Wakil Presiden baru akan dilantik pada tanggal 20 Oktober mendatang. Kita sangat berharap, salah satu gebrakannya adalah soal penghentian utang dan mendorong proses audit utang. Semoga!

Solusi ingin lepas dari perbudakan? 
[ www.emtri.info ] Salam Kesejahteraan

The Article News is The Truth

Previous
Next Post »

Mohon Berkomentar dengan Bijak, Salam EmoticonEmoticon