Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, mungkin masih terdengar sangat asing bagi sebagian besar Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama mereka yang memang kurang memperhatikan keberadaan kerajaan-kerajaan kuno di negeri ini, namun sebenarnya tidak sedikit pula warga Negara Indonesia yang tahu tentang kerajaan tersebut, terutama orang Lampung dan penghuni pulau Sumatera, karena memang kerajaan ini berada di wilayah Lampung, tepatnya di kaki gunung Pesagi sebelah selatan danau Ranau. Bahkan menurut sumber yang digali dari prasasti dan tambo-tambo yang ditemukan, asal muasal orang Lampung merupakan keturunan dari kerajaan Sekala Brak, yang kemudian menyebar keseluruh penjuru lampung dan Palembang sampai pantai Banten mengikuti aliran sungai (Way). Kata Lampung sendiri berasal dari kata “Anjak Lambung” yang berarti berasal dari ketinggian, itu menunjukkan bahwa masyarakat Lampung adalah berasal dari kaki gunung Pesagi.
Pada abad ke 3 Masehi diperkirakan sudah berdiri kerajaan Sekala Brak kuno, dimana saat itu Sekala Brak masih memeluk agama Hindu Bairawa Animisme, dengan Raja terakhir adalah Ratu Sekarmong, dan pada abad 13 M datanglah rombongan kecil pimpinan Ratu Ngagalang Paksi yang berhasil mengislamkan kerajaan ini, dari situlah sejarah kesultanan (karena telah kerajaan Islam maka istilahnya berganti menjadi Sultan untuk raja, dan bukan lagi) Sekala Brak pun akhirnya menjadi kerajaan Islam hingga sekarang.
Sebagai salah satu kerajaan adat yang masih mampu bertahan sampai hari ini baik dilihat dari benda ataupun pengaruhnya, tentulah kerajaan ini menjadi salah satu sumber yang sangat menantang untuk dikaji, karena hari ini, hanya ada beberapa kerajaan di tanah Nusantara ini yang masih bisa dilacak keberadaannya, bahkan kerajaan besar seperti Sriwijaya pun sampai hari ini belum bisa ditemukan, entah dimana peninggalan-peninggalan bekas kejayaan mereka.
Perubahan keyakinan dari Sekala Brak kuno (animisme) menjadi kerajaan Islam sangat banyak mempengaruhi sosial budaya masyarakat Lampung, terjadi akulturasi yang menjadi keniscayaan. Banyak ditemui bukti-bukti pergeseran budaya dari transisi keyakinan tersebut, mulai dari bahasa sampai gaya hidup dan karya-karya artisitik merekapun terdapat asimilasi.
Sang ratu terakhir dari kerajaan sekala brak terbunuh dengan keris Blambangan yang kemudian disebut keris Arya Istinjak Darah, karena setelah penusukan keris itu berlumuran darah Ratu Sekarmong. Pertempuran yang diakibatkan oleh penolakan Ratu Sekarmong untuk memeluk Islam itu dimenangkan oleh rombongan yang menurut narasumber dari istana, rombongan itu terdiri dari 24 orang anak turun Sultan Zulkarnain, sebagian mereka ada yang singgah di Samudra Pasai, Pagaruyung, Muko muko, mereka pun dipertuan di daerah singgahan mereka masing-masing dan 4 orang masuk ke Sekala Brak, dipimpin oleh Ratu Ngagalang Paksi, namun Ratu Ngagalang tidak mengambil satu kedudukan atau kepemerintahan setelah penaklukan tersebut, dan Sekala Brak pun dipimpin oleh empat bersaudara yang mempunyai wilayah dan kekuasaan masing-masing.
Sejarah kesultanan kerajaan Islam inipun dimulai, turun temurun dari generasi ke generasi, dari tahta ke tahta. Empat kepaksian yang mempunyai prinsip “Satu Tidak Bersekutu, Berpisah Tidak Bercerai” ada dalam sekala brak, yaitu Kepaksian Pernong, Kepaksian Nyerupa, Kepaksian Belunguh Dan Kepaksian Bejalan Diway. Namun dalam kunjungan kami, hanya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Kepaksian Pernong, karenanya disini akan lebih dibahas spesifik ke Kepaksian Pernong. System pewarisan tampu kesultanan di kerajaan adat sekala brak adalah sultan atau ratu merupakan turunan lurus yang tidak terputus, yang tertua dari garis ratu (permaisuri, bukan selir). Anak tertua dari permaisuri baik itu laki-laki atau perempuan akan menjadi raja apabila sultan mangkat (wafat) ataupun pangeran menikah.
Apabila yang menikah adalah anak laki-laki dari raja yang akan menjadi raja disebut “Betudau atau Bejujuh”, bila putri mahkota yang menikah untuk mengambil suami yang akan jadi raja untuk ratu (putri mahkota) maka disebut “Semanda”. Sedangkan apabila masyarakat biasa yang menikah disebut “tanjakh”, tanjakh ini juga berarti bahwa laki-laki tidak ikut perempuan da sebaliknya, tetapi bersama-sama untuk pisah dan berkeluarga sendiri.
Pesta pernikahan, penyambutan tamu, kedatangan Sultan ataupun hiburan rakyat, leluhur orang Lampung ini mempunyai tabuhan-tabuhan untuk mengiringi kegiatan-kegiatan tersebut disebut Gamolan. Alat musik ini dulunya terbuat dari bambu, kemudian abad 15 diganti perunggu, karena pada abad 15 banyak santri mondok dijawa, dan dijawa banyak sekali gamelanperunggu, zaman Mataram saat itu, tapi nadanya tetap asli Sekala Brak, tidak sama dengan Gamelan Jawa. Alat musik terdiri dari satu set kulintang, sejenis gendang atau rebana dan gong. ada 4 tabuhan, yang paling tertinggi adalah “Sambai Agung” ditabuh untuk menyambut tamu Sultan, kemudian tabuh “Sekele” untuk mengiringi perjalanan Permaisuri, tabuh “Jakhang” untuk tari-tarian yang dipersembahkan untuk sultan, serta tabuh “Angin” untuk rakyat adat. Menurut nara sumber empat tabuh ini berumber pada kerajaan ghaib yang dimiliki Sekala Brak Kepaksian Pernong yaitu kerajaan ghaib Sakmawon. Nada gamolan sendiri hampir sama dengan nada-nada rumpun melayu lainnya seperti musik etnis Kutai kertanegara.
Tari Sembah merupakan salah satu tari adat Saibatin kerajaan Sekala Brak, ditarikan untuk dipersembahkan kepada raja. Penari terdiri dari 5 orang yang berarti rukun Islam, diiringi tabuh Sambai Agung. Tarian Saibatin ini merupakan tarian yang sakral bagi kerajaan Sekala Brak, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pementasan tari ini yaitu salah satu penari harus berasal dari Kapong Batin (abdi dalem yang terkedekat dengan gedong dalem). hikayahnya tari ini pertama kali ditarikan saat Umpu Pernong mau menyampaikan ceramah agama.
Selain itu, pementasan tesebut harus permintaan dari Sultan untuk ditampilkan, penampilan tari itupun dikawal oleh prajurit kerajaan dengan senjata dalam posisi siap siaga. Ada tiga lapis pengawal atau prajurit, yang pertama yang dekat dengan Sultan dan keluarga bernama Pendekar Puting Beliung yang bersenjatakan “Badik Setiluk Nyawa”, yang menjaga di area Gedong Dalem bernama Pendekar “Ipul Dalom”. Mereka bersenjatakan tombak atau pedang pendek, untuk prajurit penjaga diluar istana bernama “Laboh Angin” bersenjatakan “Badik Tikam Seribu”.
Pementasan tarian ini masih bisa kita lihat di kerajaan ini jika sultan menghendaki untuk ditampilkan, setidaknya setahun sekali. Akan tetapi yang dapat kita lihat tidak hanya tarian atau musiknya saja untuk menikmati estetika di kerajaan adat Sekala Brak ini, namun juga bangunan-bangunannya yang masih berdiri kokoh setelah di renovasi.
Gedong Dalem dibangun 400 tahun yang lalu, itu dihitung setelah kebakaran yang menghanguskannya. Motif-motif ukiran serta singgasana Sultan yang atributnya seperti Amumbak dan lalangsing, kasur, kelambu, semua berjumlah semuanya berjumlah tujuh. Jumlah tujuh disana bermakna nuansa Islami yaitu “Kita berpijak diatas 7 lapis bumi, 7 lapis langit,menuju 7 neraka atau 7 surga”.
Nenek moyang orang Lampung sejak abad kesembilan mereka sudah mempunyai aksara yang disebut dengan “Had Lampung” dan diajarkan kepada keturunan mereka. Tahun 1933 gunung Suwok meletus, wilayah Sekala Brak hancur dan terkubur semuanya kecuali kraton dan 1 rumah lainnya ke timur, kemudian baru pada 1987-1998 direnovasi, semua logistik merupakan sumbangan masyarakat adat tanpa perintah Sultan, ini membuktikan pengaruh kerajaan adat masih sangat besar kepada masyarakat Lampung.
Masyarakat adat Sekala Brak yang masih bertahan untuk melestarikan nilai-nilai suku bangsa mereka baik di Lampung Barat ataupun yang menyebar kedaerah-daerah lain, karena merantau, merupakan bukti kuatnya nilai-nilai kebudayaan Sekala Brak bagi masyarakat adatnya. Nilai itu menjadi spirit nasionalisme jika menggelembung dan berintegrasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Yang Dipertuan ke 23 kepada Nyoman dari kerajaan Bali saat beliau menerima suku-suku lain masuk dan hidup menjadi warga Lampung.
Dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang, kerajaan adat ini pun terus berpartisipasi dan bersinergi dengan pemerintah untuk kemajuan Lampung, karena tanah Lampung Barat adalah tanah kerajaan Sekala Brak, masyarakay adat juga masih mengakui kepemimpinan Sultan meski tidak ditampu pemerintahan NKRI, itu terwujud dalam program Gerakan Membangun Bersama Rakyat, dimana rakyat adat dan pemerintah menyatu, dan masih banyak kegiatan dan program Kepaksian Pernong dalam usahanya melestarikan adat budaya serta memajukan Lampung.
Paparan bentuk kesenian seperti tari Saibatin yang sakral, musik yang tabuhnya untuk junjungan kepada pepimpin yang begitu dicintai rakyatnya, filosofi-filosofi yang terkandung didalam bangunan-bangunan istana, bahasa mereka yang disebut Dialek Api dan Nyo, estetika yang bisa dirasakan dari karya sebuah peradaban adalah seni luhur untuk mengekspresikan peradaban mereka pada masa lampau, yang masih bisa kita ekspresikan kembali untuk menjaga warisan budaya serta meneguhkan kebangsaan kita, bahwa kita adalah bangsa yang kaya akan khasanah etnologi. Maka sudah sepatutnya kita menjaganya, bahwa kebudayaan daearah merupakan sumber kebudayaan nasional bangsa Indonesia
Pada abad ke 3 Masehi diperkirakan sudah berdiri kerajaan Sekala Brak kuno, dimana saat itu Sekala Brak masih memeluk agama Hindu Bairawa Animisme, dengan Raja terakhir adalah Ratu Sekarmong, dan pada abad 13 M datanglah rombongan kecil pimpinan Ratu Ngagalang Paksi yang berhasil mengislamkan kerajaan ini, dari situlah sejarah kesultanan (karena telah kerajaan Islam maka istilahnya berganti menjadi Sultan untuk raja, dan bukan lagi) Sekala Brak pun akhirnya menjadi kerajaan Islam hingga sekarang.
Sebagai salah satu kerajaan adat yang masih mampu bertahan sampai hari ini baik dilihat dari benda ataupun pengaruhnya, tentulah kerajaan ini menjadi salah satu sumber yang sangat menantang untuk dikaji, karena hari ini, hanya ada beberapa kerajaan di tanah Nusantara ini yang masih bisa dilacak keberadaannya, bahkan kerajaan besar seperti Sriwijaya pun sampai hari ini belum bisa ditemukan, entah dimana peninggalan-peninggalan bekas kejayaan mereka.
Perubahan keyakinan dari Sekala Brak kuno (animisme) menjadi kerajaan Islam sangat banyak mempengaruhi sosial budaya masyarakat Lampung, terjadi akulturasi yang menjadi keniscayaan. Banyak ditemui bukti-bukti pergeseran budaya dari transisi keyakinan tersebut, mulai dari bahasa sampai gaya hidup dan karya-karya artisitik merekapun terdapat asimilasi.
Sang ratu terakhir dari kerajaan sekala brak terbunuh dengan keris Blambangan yang kemudian disebut keris Arya Istinjak Darah, karena setelah penusukan keris itu berlumuran darah Ratu Sekarmong. Pertempuran yang diakibatkan oleh penolakan Ratu Sekarmong untuk memeluk Islam itu dimenangkan oleh rombongan yang menurut narasumber dari istana, rombongan itu terdiri dari 24 orang anak turun Sultan Zulkarnain, sebagian mereka ada yang singgah di Samudra Pasai, Pagaruyung, Muko muko, mereka pun dipertuan di daerah singgahan mereka masing-masing dan 4 orang masuk ke Sekala Brak, dipimpin oleh Ratu Ngagalang Paksi, namun Ratu Ngagalang tidak mengambil satu kedudukan atau kepemerintahan setelah penaklukan tersebut, dan Sekala Brak pun dipimpin oleh empat bersaudara yang mempunyai wilayah dan kekuasaan masing-masing.
Sejarah kesultanan kerajaan Islam inipun dimulai, turun temurun dari generasi ke generasi, dari tahta ke tahta. Empat kepaksian yang mempunyai prinsip “Satu Tidak Bersekutu, Berpisah Tidak Bercerai” ada dalam sekala brak, yaitu Kepaksian Pernong, Kepaksian Nyerupa, Kepaksian Belunguh Dan Kepaksian Bejalan Diway. Namun dalam kunjungan kami, hanya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Kepaksian Pernong, karenanya disini akan lebih dibahas spesifik ke Kepaksian Pernong. System pewarisan tampu kesultanan di kerajaan adat sekala brak adalah sultan atau ratu merupakan turunan lurus yang tidak terputus, yang tertua dari garis ratu (permaisuri, bukan selir). Anak tertua dari permaisuri baik itu laki-laki atau perempuan akan menjadi raja apabila sultan mangkat (wafat) ataupun pangeran menikah.
Apabila yang menikah adalah anak laki-laki dari raja yang akan menjadi raja disebut “Betudau atau Bejujuh”, bila putri mahkota yang menikah untuk mengambil suami yang akan jadi raja untuk ratu (putri mahkota) maka disebut “Semanda”. Sedangkan apabila masyarakat biasa yang menikah disebut “tanjakh”, tanjakh ini juga berarti bahwa laki-laki tidak ikut perempuan da sebaliknya, tetapi bersama-sama untuk pisah dan berkeluarga sendiri.
Pesta pernikahan, penyambutan tamu, kedatangan Sultan ataupun hiburan rakyat, leluhur orang Lampung ini mempunyai tabuhan-tabuhan untuk mengiringi kegiatan-kegiatan tersebut disebut Gamolan. Alat musik ini dulunya terbuat dari bambu, kemudian abad 15 diganti perunggu, karena pada abad 15 banyak santri mondok dijawa, dan dijawa banyak sekali gamelanperunggu, zaman Mataram saat itu, tapi nadanya tetap asli Sekala Brak, tidak sama dengan Gamelan Jawa. Alat musik terdiri dari satu set kulintang, sejenis gendang atau rebana dan gong. ada 4 tabuhan, yang paling tertinggi adalah “Sambai Agung” ditabuh untuk menyambut tamu Sultan, kemudian tabuh “Sekele” untuk mengiringi perjalanan Permaisuri, tabuh “Jakhang” untuk tari-tarian yang dipersembahkan untuk sultan, serta tabuh “Angin” untuk rakyat adat. Menurut nara sumber empat tabuh ini berumber pada kerajaan ghaib yang dimiliki Sekala Brak Kepaksian Pernong yaitu kerajaan ghaib Sakmawon. Nada gamolan sendiri hampir sama dengan nada-nada rumpun melayu lainnya seperti musik etnis Kutai kertanegara.
Tari Sembah merupakan salah satu tari adat Saibatin kerajaan Sekala Brak, ditarikan untuk dipersembahkan kepada raja. Penari terdiri dari 5 orang yang berarti rukun Islam, diiringi tabuh Sambai Agung. Tarian Saibatin ini merupakan tarian yang sakral bagi kerajaan Sekala Brak, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pementasan tari ini yaitu salah satu penari harus berasal dari Kapong Batin (abdi dalem yang terkedekat dengan gedong dalem). hikayahnya tari ini pertama kali ditarikan saat Umpu Pernong mau menyampaikan ceramah agama.
Selain itu, pementasan tesebut harus permintaan dari Sultan untuk ditampilkan, penampilan tari itupun dikawal oleh prajurit kerajaan dengan senjata dalam posisi siap siaga. Ada tiga lapis pengawal atau prajurit, yang pertama yang dekat dengan Sultan dan keluarga bernama Pendekar Puting Beliung yang bersenjatakan “Badik Setiluk Nyawa”, yang menjaga di area Gedong Dalem bernama Pendekar “Ipul Dalom”. Mereka bersenjatakan tombak atau pedang pendek, untuk prajurit penjaga diluar istana bernama “Laboh Angin” bersenjatakan “Badik Tikam Seribu”.
Pementasan tarian ini masih bisa kita lihat di kerajaan ini jika sultan menghendaki untuk ditampilkan, setidaknya setahun sekali. Akan tetapi yang dapat kita lihat tidak hanya tarian atau musiknya saja untuk menikmati estetika di kerajaan adat Sekala Brak ini, namun juga bangunan-bangunannya yang masih berdiri kokoh setelah di renovasi.
Gedong Dalem dibangun 400 tahun yang lalu, itu dihitung setelah kebakaran yang menghanguskannya. Motif-motif ukiran serta singgasana Sultan yang atributnya seperti Amumbak dan lalangsing, kasur, kelambu, semua berjumlah semuanya berjumlah tujuh. Jumlah tujuh disana bermakna nuansa Islami yaitu “Kita berpijak diatas 7 lapis bumi, 7 lapis langit,menuju 7 neraka atau 7 surga”.
Nenek moyang orang Lampung sejak abad kesembilan mereka sudah mempunyai aksara yang disebut dengan “Had Lampung” dan diajarkan kepada keturunan mereka. Tahun 1933 gunung Suwok meletus, wilayah Sekala Brak hancur dan terkubur semuanya kecuali kraton dan 1 rumah lainnya ke timur, kemudian baru pada 1987-1998 direnovasi, semua logistik merupakan sumbangan masyarakat adat tanpa perintah Sultan, ini membuktikan pengaruh kerajaan adat masih sangat besar kepada masyarakat Lampung.
Masyarakat adat Sekala Brak yang masih bertahan untuk melestarikan nilai-nilai suku bangsa mereka baik di Lampung Barat ataupun yang menyebar kedaerah-daerah lain, karena merantau, merupakan bukti kuatnya nilai-nilai kebudayaan Sekala Brak bagi masyarakat adatnya. Nilai itu menjadi spirit nasionalisme jika menggelembung dan berintegrasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Yang Dipertuan ke 23 kepada Nyoman dari kerajaan Bali saat beliau menerima suku-suku lain masuk dan hidup menjadi warga Lampung.
Dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang, kerajaan adat ini pun terus berpartisipasi dan bersinergi dengan pemerintah untuk kemajuan Lampung, karena tanah Lampung Barat adalah tanah kerajaan Sekala Brak, masyarakay adat juga masih mengakui kepemimpinan Sultan meski tidak ditampu pemerintahan NKRI, itu terwujud dalam program Gerakan Membangun Bersama Rakyat, dimana rakyat adat dan pemerintah menyatu, dan masih banyak kegiatan dan program Kepaksian Pernong dalam usahanya melestarikan adat budaya serta memajukan Lampung.
Paparan bentuk kesenian seperti tari Saibatin yang sakral, musik yang tabuhnya untuk junjungan kepada pepimpin yang begitu dicintai rakyatnya, filosofi-filosofi yang terkandung didalam bangunan-bangunan istana, bahasa mereka yang disebut Dialek Api dan Nyo, estetika yang bisa dirasakan dari karya sebuah peradaban adalah seni luhur untuk mengekspresikan peradaban mereka pada masa lampau, yang masih bisa kita ekspresikan kembali untuk menjaga warisan budaya serta meneguhkan kebangsaan kita, bahwa kita adalah bangsa yang kaya akan khasanah etnologi. Maka sudah sepatutnya kita menjaganya, bahwa kebudayaan daearah merupakan sumber kebudayaan nasional bangsa Indonesia
sumber : http://eb0edi.wordpress.com
(t-a-n ) Doc.