Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
Peta Kecamatan Muara Kaman
Salah satu yupa dengan
inskripsi,
kini di Museum
Nasional Republik Indonesia, Jakarta
Prasasti Kerajaan Kutai
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa/prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan.
Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak
Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental
dengan pengaruh bahasa Sanskerta
bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia.
Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah
raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai
pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya
pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya
adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah
Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan
tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing,
hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir
saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di
tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat
bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai
Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute).
Kutai Kartanegara inilah, di
tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya
menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara.
Nama-Nama
Raja Kutai
- Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman
- Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
- Maharaja Mulawarman
- Maharaja Marawijaya Warman
- Maharaja Gajayana Warman
- Maharaja Tungga Warman
- Maharaja Jayanaga Warman
- Maharaja Nalasinga Warman
- Maharaja Nala Parana Tungga
- Maharaja Gadingga Warman Dewa
- Maharaja Indra Warman Dewa
- Maharaja Sangga Warman Dewa
- Maharaja Candrawarman
- Maharaja Sri Langka Dewa
- Maharaja Guna Parana Dewa
- Maharaja Wijaya Warman
- Maharaja Sri Aji Dewa
- Maharaja Mulia Putera
- Maharaja Nala Pandita
- Maharaja Indra Paruta Dewa
- Maharaja Dharma Setia
Lain-lain
Nama Maharaja Kundungga
oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum
terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama
Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini di dasarkan pada
kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sangsekerta.Kata itu biasanya
digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian
Selatan.
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
Kesultanan Kutai atau
lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
(Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam
yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung
Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir
pada 1960. Kemudian pada tahun 2001
kembali eksis di Kalimantan Timur
setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai
Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya
sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu
Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing
Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura
ļ»ļŗ“ļ» ļŗļŗļ»§ļ»¦ ļ»ļ»®ļŗļ»² ļ»ļŗ®ļŗļŗļ»§ļÆļŗ®ļŗ ļŗŚ ļ»£ļŗ®ļŗļŗļŗ©ļ¬ļ»®ļŗļŗ |
|||||
|
|||||
|
|||||
Ibu kota
|
|||||
Bahasa
|
Bahasa Melayu
(dialek Kutai)
|
||||
Islam (resmi)
Kaharingan Animisme Kristen |
|||||
- 1300-1325
|
|||||
- 1920-1960
|
|||||
- 2001-sekarang
|
|||||
Sejarah
|
|||||
- Didirikan
|
1300
|
||||
- Menjadi kesultanan
|
|||||
- Dihidupkan kembali
|
2001
|
||||
- Masuk wilayah Indonesia
|
1960
|
||||
Kini bagian dari
|
Sejarah Pendirian
Kerajaan Kutai
Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu
atau Kutai
Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana)
dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut
dengan nama Kerajaan Tanjung Kute
dalam Kakawin
Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara
bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Kerajaan Kutai
Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu
atau Kutai
Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana)
dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut
dengan nama Kerajaan Tanjung Kute
dalam Kakawin
Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara
bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Lambang Kesultanan Kutai
Kartanegara dalam versi lain
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah
pimpinan Raja Aji Pangeran
Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan
Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan
Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman.
Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan
Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan
tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam
yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh
Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota
Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris
(1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama
Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan
salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti
kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14.
Sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya
karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk
menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh
Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622). Sebelumnya Banjarmasin
merupakan vazal Kesultanan Demak
(penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak
(1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa.
Sekitar tahun 1638 (sebelum
perjanjian Bungaya)
Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir
serta Kutai, Berau
dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar
Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum
Panembahan ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian
dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu
Raja Tallo yang
menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.
Tahun 1747, VOC Belanda
mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya
dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji
membantu Sultan Tamjidullah I
yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan
diri di antaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756,
karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah
pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng yang anti VOC.
Pangeran Amir, putra mahkota yang sah dibantu Arung Turawe (kelompok anti VOC)
berusaha merebut tahta tetapi mengalami kegagalan.
Pada 13 Agustus 1787,
Sultan Banjar Sunan Nata Alam
membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah
protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala
pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak
sebagai properti VOC Belanda.
Tahun 1778 Landak dan
Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan
Banten. Tahun 1809 Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan
Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas
dan benteng Tabanio
kepada Sultan Banjar. Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris
karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di
Banjarmasin sejak 1812.
Tanggal 1 Januari 1817
Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan
daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian
dengan Sultan Banjar. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817
antara Sultan Sulaiman dari Banjar
dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
Perjanjian berikutnya pada
tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah
pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823
antara Sultan Sulaiman dari Banjar
dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
Negeri Kutai ditegaskan
kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut
Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah
dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin
pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H.
Pemindahan
Ibukota Kerajaan
Peta Perpindahan Ibukota Kesultanan Kutai
Kartanegara antara tahun 1300-1960
Sultan Aji Muhammad Idris
yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC
bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
untuk sementara dipegang oleh Dewan
Perwalian.
Pada tahun 1739,
Sultan Aji Muhammad Idris
gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta
kerajaan oleh Aji Kado.
Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian
dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut
sebagai putra mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke
tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang
Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan
gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang.
Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung
dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap
Pemarangan. Armada bajak laut Sulu
terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan
terhadap Pemarangan.
Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak
dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780,
Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati
dan dimakamkan di Pulau
Jembayan.
Aji Imbut dengan gelar
Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782.
Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa
pemerintahan Aji Kado
dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian
diubah menjadi Tangga Arung yang
berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Pada tahun 1838,
Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut
mangkat pada tahun tersebut.
Serangan
Kapal Inggris
Pada tahun 1844,
2 buah kapal dagang pimpinan James
Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan
Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk
mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk
berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray
kurang puas dengan tawaran Sultan ini.
Setelah beberapa hari di
perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan
Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya
kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang
tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang
tewas tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris.
Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun
ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah
Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya
sendiri.
Kemudian Belanda
mengirimkan armadanya dibawah komando t’Hooft dengan membawa persenjataan
yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t’Hooft menyerang istana Sultan
Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang
Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya
dengan gagah berani bertempur melawan armada t’Hooft untuk mempertahankan
kehormatan Kerajaan Kutai
Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang
tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada
Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844,
Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa
Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah
Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili
oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun 1846,
H. von
Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai
timur Kalimantan. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indiƫ tahun 1849,
wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan BĆŖsluit
van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie,
pada 27 Agustus 1849, No. 8 Pada tahun 1850,
Sultan A.M. Sulaiman
memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada
tahun 1853, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager
sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M.
Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.
Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en
oosterafdeeling van Borneo. Pada tahun 1863,
kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari
Pemerintahan Hindia Belanda.
Pembukaan
Tambang Batubara Pertama
Tahun 1888, pertambangan
batubara pertama di Kutai dibuka di Batu
Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H.
Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai.
Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan
Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas
pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun 1899
Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907,
misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat.
Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan
kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada
Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun
saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu
putera mahkota Aji Kaget
masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian
dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920,
Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit
namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak
setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan
anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak diangkat menjadi Sultan
Kutai. dalam beberapa media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad
Parikesit dikarenakan kedua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang
mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20,
ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan
Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh
Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus
yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924,
Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden–jumlah yang sangat fantastis
untuk masa itu.
Tahun 1936,
Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat
dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana
tersebut selesai dibangun.
Kedatangan
Jepang
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942,
Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar
kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Era
Kemerdekaan dan Penghapusan Kesultanan
Indonesia merdeka pada
tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status
Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan
lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir
dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949
masuk dalam Republik Indonesia
Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah
menjadi Daerah
Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan
UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959,
berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II
di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat
II, yakni:
- Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
- Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
- Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960,
bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur
Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra
tersebut, yakni:
- A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
- Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
- A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada
tanggal 21 Januari 1960
bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus
DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima
pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad
Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai,
Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota
Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji
Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.
Penghidupan
Kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
Pada tahun 1999,
Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais
berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura.
Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk
menghidupkan feodalisme di daerah,
namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu,
dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung
sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik
minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000,
Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran
Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas.
Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai
Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran
Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001,
Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya
Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan
H. Aji Muhammad
Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai
Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.
Wilayah
(berwarna
hijau tua)
Pada masa kejayaannya
hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki
wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah
otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:
- Kabupaten Kutai Kartanegara
- Kabupaten Kutai Barat
- Kabupaten Kutai Timur
- Kota Balikpapan
- Kota Bontang
- Kota Samarinda
- Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari
wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700
km2.
Pada tahun 1959, wilayah
Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3
wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya
Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan
Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah
Istimewa Kutai.
Keraton
Kesultanan
Keraton Kesultanan Kutai
Kartanegara
yang sekarang menjadi Museum Mulawarman
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman
yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan
ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada
tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana
Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman
wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin oleh
Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang
terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin
ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi).
Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik
tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda
pemerintahan kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton
kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan
bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit
beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman.
Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM (Hollandsche Beton
Maatschappij) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun
untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan keraton rampung pada
tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938
keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga.
Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan
pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya
keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian
dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diganti
dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Setelah pemerintahan
Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan
luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit
hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971.
Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan
bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini
disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di
antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur,
seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton
Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat
atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi
yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang
dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin,
Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman
dan Sultan Parikesit.
Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau
dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung
Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001,
putra mahkota H. Aji Pangeran
Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya
kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk
melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia
agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah
membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton
bagi Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak
disamping Masjid Jami’
Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada
bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
Gelar
Kebangsawanan
Dalam Kesultanan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga
kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga
kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar
sebagai berikut:
- Aji Sultan: digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.
- Aji Ratu: gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
- Aji Pangeran: gelar bagi putera Sultan.
- Aji Puteri: gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
- Aji Raden: gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
- Aji Bambang: gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
- Aji: gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah
dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat
biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun
jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka
putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji
tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika wanita Aji menikah
dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai
berikut:
- Aji Sayid: gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
- Aji Syarifah: gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji
Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah
Aji Bambang maupun Aji Raden.
Nama-Nama Raja/Sultan Kutai
Kartanegara
No.
|
Masa
|
Nama Raja/Sultan
|
K e t e r a n g a n
|
|
1
|
*Raja pertama Kutai Kartanegara yang mendirikan kerajaannya di Kutai
Lama
|
|||
2
|
||||
3
|
||||
4
|
||||
5
|
||||
6
|
* Raja Kutai Kartanegara pertama yang memeluk agama Islam
|
|||
7
|
||||
8
|
* Raja yang menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja
kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura.
|
|||
9
|
||||
10
|
||||
11
|
*Ratu pertama yang memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara
|
|||
12
|
||||
13
|
||||
14
|
||||
15
|
* Aji Kado melakukan kudeta dengan mengangkat dirinya sebagai
Sultan Aji Muhammad Aliyeddin setelah Sultan Aji Muhammad Idris
wafat di Wajo, Sulawesi Selatan
|
|||
16
|
*Pewaris tahta yang sah dari Sultan Aji Muhammad Idris
dan berhasil menggulingkan pemerintahan Aji Kado
|
|||
17
|
||||
18
|
||||
19
|
||||
20
|
*Sultan terakhir setelah pemerintahan kesultanan berakhir pada
tahun 1960
|
|||
21
|
1999-kini
|
*Ditetapkan sebagai Sultan Kutai pada tahun 1999
setelah Kesultanan Kutai dihidupkan kembali. Namun upacara penobatan baru
dilaksanakan pada 22 September 2001
|
Nama-Nama Raja/Sultan Kutai
Kartanegara
No.
|
Masa
|
Nama Raja/Sultan
|
K e t e r a n g a n
|
|
1
|
*Raja pertama Kutai Kartanegara yang mendirikan kerajaannya di Kutai
Lama
|
|||
2
|
||||
3
|
||||
4
|
||||
5
|
||||
6
|
* Raja Kutai Kartanegara pertama yang memeluk agama Islam
|
|||
7
|
||||
8
|
* Raja yang menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja
kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura.
|
|||
9
|
||||
10
|
||||
11
|
*Ratu pertama yang memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara
|
|||
12
|
||||
13
|
||||
14
|
||||
15
|
* Aji Kado melakukan kudeta dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan
Aji Muhammad Aliyeddin setelah Sultan Aji Muhammad Idris
wafat di Wajo, Sulawesi Selatan
|
|||
16
|
*Pewaris tahta yang sah dari Sultan Aji Muhammad Idris
dan berhasil menggulingkan pemerintahan Aji Kado
|
|||
17
|
||||
18
|
||||
19
|
||||
20
|
*Sultan terakhir setelah pemerintahan kesultanan berakhir pada
tahun 1960
|
|||
21
|
1999-kini
|
*Ditetapkan sebagai Sultan Kutai pada tahun 1999
setelah Kesultanan Kutai dihidupkan kembali. Namun upacara penobatan baru
dilaksanakan pada 22 September 2001
|
Sumber:
(t-a-n) Doc